
SEJARAH DESA
<span data-metadata=""><span data-buffer="">Nama Partungko Naginjang bukan sekadar penanda geografis, tetapi menyimpan makna mendalam dari sejarah dan kearifan leluhur. Berasal dari dua kata dalam bahasa Batak: Partungko yang berarti "perkumpulan" dan Naginjang yang berarti "yang tinggi". Nama ini mencerminkan identitas desa sebagai tempat berkumpulnya para raja dan tokoh adat di masa lampau—sebuah titik sakral di dataran tinggi Samosir, tempat mereka melakukan ritual persembahan kepada para leluhur. Ritual tersebut dilakukan di sebuah tempat khusus bernama Lumban Balga. Di sinilah persembahan untuk leluhur diletakkan, dengan penuh penghormatan dan spiritualitas yang dalam. Lumban Balga bukan hanya lokasi upacara, tetapi simbol ikatan antara manusia, alam, dan para pendahulu mereka.
Secara administratif, Desa Partungko Naginjang resmi berdiri sebagai desa di Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir melalui Peraturan Daerah No. 02 Tahun 2011. Namun, jauh sebelum itu, wilayah ini telah dikenal sebagai bagian dari sistem pemerintahan adat Batak yang disebut Bius. Pada tahun 1908, pemerintah kolonial Belanda secara resmi mengakui keberadaan Bius Partungko Naginjang sebagai satu entitas sosial dan budaya. Setelah masa penjajahan, wilayah ini sempat digabung menjadi satu dusun bersama dua dusun lainnya. Namun, semangat masyarakat untuk menjaga identitas dan warisan leluhur tidak pernah padam. Hingga akhirnya, pada 1 Agustus 2011, wilayah ini dimekarkan menjadi tiga desa: Tele, Baneara, dan Pamintoran, dengan Partungko Naginjang sebagai bagian penting dari sejarah tersebut.
Desa ini bukan hanya sebuah tempat; ia adalah ruang hidup yang menyimpan cerita, sejarah, dan semangat masyarakatnya. Mengunjungi Partungko Naginjang adalah menyusuri jejak masa lalu yang masih berdetak dalam kehidupan hari ini.
